Dursle – Sore hari di Desa Mekar suasana hangat terasa, senja kali ini sangat indah dan membuat mata terpana atas ke elokkannya. Cahaya yang terpancar sangat tegas mereka menyebutnya Candik Ala.
Kicau Burung – burung yang berbaris mengepakkan sayapnya untuk terbang menuju rumahnya karena malam akan tiba menambah suasana tenang. Semua warga menikmatinya sambil mengobrol dan minum segelas teh hangat di teras, ada juga yang berjalan pulang dari sawah, dan ada yang masih duduk di gubuk sawah.
Ketika tenangnya menikmati suasana ini, tiba – tiba ada suara teriakan dan tangisan yang menggema dari rumah pak Sadiman. Warga langsung berbondong kesana untuk melihat dan memberi pertolongan.
Ternyata anak bu Rita yang bernama Rendra tersandung dan kepalanya terbentur batu patok. Bu Rita yang tadinya memanggil Rendra langsung berlari karena melihat di dahinya mengucur darah.
Pak Sadiman yang tadinya sibuk membabat singkong langsung berlari melihat anaknya berteriak “Bapakk…” ia langsung melempar sabit yang dibawa. Warga membantu menggendong Rendra dan di bawa ke teras rumahnya untuk mendapatkan pertolongan pertama agar darahnya tidak mengalir begitu deras.
Pak Riyanto yang lebih akrab di panggil pak Kades dan istrinya yang baru saja pulang dari acara desa sebelah tidak sengaja lewat depan rumah pak Sadiman, ia melihat para warga bergerumbul langsung bergegas menghampiri. Ia melihat Rendra sudah lemas dan menangis karena luka pada dahinya yang meneteskan darah.
Pak Kades langsung menghubungi pihak puskesmas di desa, sedikit beruntung karena hari ini puskesdes baru saja selesai melakukan cek kesehatan berkala pada masyarakat desa. Mobil segera menuju rumah pak Sadiman, sesampainya disana para warga membantu mengangkat Rendra ke mobil puskesmas keliling dan yang lainnya membereskan ketela yang Rendra bopong tadi karena berserakan.
Selama di perjalanan dokter memeriksa lukanya, lukanya cukup dalam, darah terus menetes dari dahinya dan harus dilakukan operasi kecil. Karena peralatan medis di puskesdes kurang lengkap, dokter menyarankan rujuk ke rumah sakit yang berada di kota, pak Sadiman dan ibu Rita sepakat.
Pak Kades dan istrinya membantu regristrasi di rumah sakit tersebut. Sesampainya di rumah sakit ia langsung ditangani oleh pihak rumah sakit dan di lakukan operasi kecil. Operasi berjalan lancar, Rendra di bawa ke ruang inap dan baru diperbolehkan pada ke esokan harinya.
Selesai operasi pak Kades dan istrinya pulang, sebelum pulang mereka membawakan makanan dan minuman.
Ke esokkan hari Rendra akhirnya sadarkan diri. Rendra merasa badannya lemas dan kepalanya pusing sesekali ia merengek. Usia Rendra yang masih 6 tahun sudah memiliki rasa trauma.
Bu Rita merasa sedih, hari yang seharusnya jadi kebahagiaan Rendra harus menjadi hari yang menyesalkan. Setelah menjalani rawat inap dan menebus obat, sorenya Rendra di perbolehkan pulang dengan di jemput mobil pak Kades.
Pak Sadiman dan bu Rita sangat berterima kasih kepada pak kades mereka berjanji akan mengganti biaya berobat Rendra. Setelah pulang dari rumah sakit, Rendra di haruskan kontrol setiap seminggu sekali. Pak Sadiman akhirnya berkerja di ladang sediri dan di lanjutkan ikut meladang para warga agar mendapatkan upah lebih.
Sementara bu Rita mengolah hasil di ladang sendiri untuk di jadikan cemilan. Bu Rita menjualnya ke pasar, di titipkan di warung, dan kadang jika dagangannya belum terjual habis ia berjualan mengelilingi kampung sehabis pulang dari pasar.
Selama control pak Sadiman mengantar Rendra menggunakan pick up milik pak Kades. Saat tidak meladang pak Sadiman sering di ajak pergi pak Kades berdagang dan mengantar pak Kades berpergian ke kota.
Terkadang pak Sadiman di beri upah pak Kades namun ia sering menolaknya itu karena pak Sadiman ingin membalas kebaikan pak Kades.
Tepat di usia Rendra yang ke-7 tahun, kondisi ekonomi di keluarga pak Sadiman sangat memprihatinkan. Pak Sadiman sekarang sering sakit karena usia yang cukup tua dan kebiasaan sering minum kopi di temani sebungkus rokok.
Hal ini membuat tubuh pak Sadiman kurang fit dan sering batuk. Setiap kali sehabis meladang ia sering mengeluh sesak di dada. Dengan kondisi seperti ini ia menjadi jarang mengantar pak Kades.
Kondisi Rendra kini sudah pulih, rasa trauma yang di alami 1 tahun yang lalu mulai menghilang namun menyisakan bekas jahitan di dahi. Rendra sudah bisa membantu bu Rita dan pak Sadiman ke pasar dan meladang.
Kini ia sudah masuk di bangku sekolah dasar, jarak sekolahnya sekitar 3 Km dari rumah. Rutinitas Rendra sebelum berangkat ke sekolah ia setiap pagi membantu bu Rita menyiapkan dagangan untuk di jual ke pasar.
Ia berangkat ke sekolah bersama ibunya dengan berjalan kaki terkadang jika memiliki uang lebih ia naik angkot. Namun, jika ada mobil pengepul atau pick up pak Kades yang lewat depan rumah mereka selalu di tawari tumpangan.
Mereka sering berangkat bersama karena jalan ke pasar dan ke sekolah searah. Mereka tidak memiliki kendaraan pribadi, terkadang jika bu Rita mendapatkan pesanan keripik ia harus meminjam montor tetangga.
Ladang sebelah rumah peninggalan ayah Rendra menjadi sumber pangan dan penghasilan bagi keluarga pak Sadiman. Istri pak Sadiman sudah lama meninggal, bu Rita adalah anak tunggal pak Sadiman. Orang tua Rendra bercerai ketika ia masih berumur 4 tahun, Ayahnya hanya memberi tanah dan rumah yang ia tempati bersama kakek dan ibunya sekarang.
Rumah yang sangat sederhana ini setidaknya bisa memberikan ketenangan dalam hidupnya.
Suatu pagi saat matahari belum menampakkan cahayanya dan langit masih gelap sedikit berkabut. Rendra terbangun dari tidurnya, ia melihat keluar jendela tidak menemui orang beraktivitas.
Rendra mencoba tidur kembali tetapi tidak bisa, ia hanya merebahkan badannya memandang langit – langit kamar. Adzan subuh berkumandang, ia bergegas menuju kamar mandi untuk mandi dan berwudhu.
Ketika berjalan menuju kamar mandi ia terkejut melihat rumah sangat begitu sepi dan tidak seperti biasanya, ia tidak menjumpai kakek dan ibunya di rumah. Rendra langsung ke kamar mandi dan pergi ke masjid untuk melaksanakan sholat berjamaah.
Selesai melaksanakan sholat ia langsung pergi menuju ladang, Sesampainya disana ia melihat hanya ada pak Sudiman seorang diri, ia bingung ibunya kemana padahal masih sangat pagi. Waktu itu sekolah Rendra di liburkan karena semua guru disekolahnya mendapat undangan rapat di Dinas Pendidikan.
Pak Sadiman yang melihat Rendra berlarian langsung berteriak “ada apa le… lari – larian….”. Rendra dengan nafas terengah – engah ia menjawab “ dimana ibu kek..”. Pak Sadiman menjelaskan kepada Rendra sambil menenangkannya, bu Rita berpamitan kepada pak Sadiman untuk bekerja di kota bahwa ia mendapatkan perkerjaan disana dengan gaji yang cukup besar.
Bu Rita berpesan kepada pak Sadiman ia akan menemui Rendra ketika ia sudah berumur 15 tahun.
Saat di kota ia sebenarnya sangat rindu dan sangat ingin bertemu dengan anak kesayangan tetapi harus menahannya sebab siapa yang akan menghidupinya kalau ia pulang ke rumah untuk bertemu Rendra.
Sebuah musibah terjadi ia kejambretan waktu di jalan barang-barangnya habis tak tersisa untung saja dompetnya ada di dalam bajunya meskipun di dalam domprt tidak lebih dari 100 ribu tapi masih bersyukur.
Untung handphonenya juga ada di dompet, ingin sekali aku menelepon Rendra di kampung tapi nanti aku pasti menangis karena sudah lama memedam rindu. Ia mulai menekan nomor handphone pak Sadiman, sebenarnya ia ragu tapi sangat rindu.
Bu Rita mulai menekan tanda telepon yang hijau dan mulai menyambung, dari seberang ada yang mengangkat, ibunya sangat senang yang mengangkat Rendra sendiri. Ia bilang bahwa ini ibunya, bagaimana kabarmu? dengan mendengar suara ibunya yang sangat di rindukan dan ingin ia temui merasa sangat senang.
Ibunya diseberang masih menangis tersedu-sedu bahagianya tak terkira sampai Rendra menceritakan apa yang ingin ia ceritakan. Rasanya seperti mimpi hingga Rendra tak ingin bangun dari mimpi itu lalu Rendra ingin ibunya menyanyikan lagu nina bobok seperti dulu.
Dengan menangis tersedu-sedu ia menyanyikan untuk anak kesayangannya sambil bilang aku rindu kamu Rendra.